loading...
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia berpandangan, disetopnya pembelian tembakau oleh dua perusahaan rokok kretek besar PT Gudang Garam dan Nojorono di Temanggung merupakan kabut hitam perekonomian nasional. Foto/Dok SINDO Photo, Ahmad Antoni
JAKARTA - Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji berpandangan, disetopnya pembelian tembakau oleh dua perusahaan rokok kretek besar PT Gudang Garam dan Nojorono di Temanggung merupakan kabut hitam perekonomian nasional. Pasalnya, hal itu memberikan berdampak ganda (multiplier effect) roda ekonomi lokal dan nasional.
Agus Parmuji mengatakan, dampak tidak ada pembelian tembakau oleh dua perusahaan rokok kretek itu merupakan bencana ekonomi di Temanggung hingga 60%. Bahkan bisa menjadi bencana ekonomi yang akan meluas di daerah sentra tembakau di Jawa Tengah.
Ia mencontohkan di sektor tembakau, terdapat kurang lebih 700 ribu keranjang tembakau yang diserap PT Gudang Garam melalui sentra pembelian di Temanggung yang menyerap hasil produksi petani di 6 kabupaten (Temanggung, Wonosobo, Kendal, Magelang, Boyolali, Kab. Semarang).
Baca Juga: Temanggung Krisis Penjualan Tembakau, DPR Tuding Rokok Ilegal China Biang Kerok
"Ilustrasinya di tahun terakhir pembelian 2023, uang yang beredar dari pabrikan Gudang Garam dalam kurun waktu 3 bulan pembelian satu keranjang tembakau dengan nilai pembelian rata-rata Rp2.500.000, maka uang yang beredar di sekitar ada Rp1.750.000.000 yang hilang di ekonomi lokal. Dan itu menggerus ekonomi petani tembakau dan turunanannya seperti rontoknya tenaga kerja di desa-desa sentra tembakau, hancurnya pengrajin keranjang, dll," kata Agus Parmuji di Jakarta, Jumat (20/06/2025).
Belum lagi dampak terhadap ekonomi nasional, dimana Agus Parmuji memprediksi target penerimaan dari cukai hasil tembakau tahun 2025 tidak akan tercapai. "Penerimaan negara tidak tercapai, sementara produk-produk rokok yang tidak tercatat atau tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara semakin membanjiri tanah air," imbuhnya.
Data Kementerian Keuangan (2024) menyebutkan, dugaan pelanggaran rokok ilegal sepanjang tahun 2024 ditemukan bahwa rokok polos (tanpa pita cukai) menempati posisi teratas sebesar 95,44%, disusul palsu sebesar 1,95%, salah peruntukan (saltuk) 1,13%, bekas 0,51%, dan salah personalisasi (salson) 0,37%.