loading...
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) berharap Presiden Prabowo Subianto bisa turun langsung menindaklanjuti putusan MK soal menggratiskan pendidikan di tingkat SD-SMP. Ilustrasi/Dok Sindo
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi ( MK ) memutuskan pemerintah pusat dan daerah menggratiskan pendidikan di tingkat SD-SMP, baik di sekolah negeri maupun swasta. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) berharap Presiden Prabowo Subianto bisa turun langsung menindaklanjuti putusan tersebut.
Kornas JPPI Ubaid Matraji menyatakan bahwa ini adalah amanat konstitusi yang kini dipertegas oleh lembaga tertinggi hukum. Sehingga, putusan ini tidak bisa hanya dialamatkan ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) semata. Menurutnya, Kemendikdasmen adalah kementerian dengan pengelolaan anggaran yang relatif kecil dibandingkan total anggaran pendidikan negara.
"Putusan MK ini adalah perintah langsung kepada negara untuk menjamin hak dasar pendidikan anak. Dan, dalam struktur negara kita, pemegang kunci implementasi perintah konstitusi ini adalah Presiden Republik Indonesia," kata Ubaid dalam keterangannya, Rabu (28/5/2025).
Menurutnya, ada lima alasan Presiden Prabowo harus turun tangan langsung untuk menjalankan putusan MK ini. Pertama, anggaran pendidikan besar, tapi salah urus.
Baca Juga: MK Putuskan SD-SMP Negeri dan Swasta Gratis, Ini Respons DPR dan Kemendikdasmen
Fakta di persidangan jelas menunjukkan bahwa anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD sesungguhnya lebih dari cukup untuk menggratiskan pendidikan dasar di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta.
"Namun, selama ini, anggaran tersebut terpecah dan dikelola oleh puluhan kementerian dan lembaga yang tidak terkait langsung dengan pendidikan, menyebabkan inefisiensi dan salah sasaran. Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran ini," ujarnya.
Kedua, kewenangan lintas kementerian. Menurut JPPI, mengubah skema pembiayaan pendidikan dan mengintegrasikan sekolah swasta ke dalam sistem bebas biaya memerlukan koordinasi lintas kementerian yang kuat.
"Ini melibatkan Kementerian Keuangan untuk realokasi anggaran masif, Kementerian Dalam Negeri untuk sinkronisasi kebijakan di daerah, hingga kementerian lain yang selama ini juga mengelola dana pendidikan. Koordinasi dan keputusan strategis selevel ini hanya bisa dipimpin oleh Presiden," tuturnya.
Ketiga, payung hukum dan regulasi turunan. JPPI memandang, implementasi putusan MK memerlukan payung hukum turunan yang kuat seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Proses pembentukan regulasi ini berada di bawah kendali Presiden sebagai kepala pemerintahan. "Tanpa arahan tegas dari Presiden, regulasi ini bisa tertunda atau tidak efektif," tegasnya.
Keempat, political will sebagai kunci utama. Ubaid menyebut sejarah menunjukkan bahwa perubahan fundamental di sektor publik membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemimpin tertinggi. Tanpa komitmen politik yang jelas dari Presiden, kata dia, putusan MK ini berisiko menjadi sekadar teks hukum tanpa dampak nyata di lapangan.
Kelima, amanat konstitusi dan tanggung jawab moral. Putusan MK ini adalah penegasan terhadap amanat Konstitusi UUD 1945 tentang hak setiap warga negara atas pendidikan. Sebagai kepala negara, kata dia, Presiden memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral tertinggi untuk memastikan hak ini terpenuhi tanpa hambatan biaya. Sehingga, Rakyat Indonesia menantikan kepemimpinan Presiden untuk mewujudkan janji konstitusi ini secara nyata.