TEMPO.CO, Banjarbaru - Anggota Tim Hukum Hanyar Banjarbaru, Denny Indrayana, kecewa atas putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan bahwa sengketa PSU Pilkada Banjarbaru tidak memenuhi syarat formil untuk dilanjutkan ke sidang pembuktian.
“Putusan yang mengecewakan dan jauh dari harapan agar MK menegaskan dan menegakkan kadilan pemilu yang jujur dan adil,” kata Denny Indrayana lewat keterangan tertulis, pada Senin, 26 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyoroti lima poin yang dikesempingkan MK, yakni video Ghimoyo soal siraman untuk 75 ribu pemilih, percakapan WhatsApp grup RT, surat resmi Gubernur Kalsel dan Forkopimda tidak dianggap intervensi, laporan ke Bareskrim terhadap Visi Nusantara bukan intimidasi, serta status tersangka Ketua LPRI Kalsel bukan dianggap intimidasi.
Denny berkata MK gagal menjalankan fungsi untuk menjaga kehormatan Pilkada Kota Banjarbaru. Namun, pihaknya tetap menghormati putusan MK yang final dan binding.
Ia turut memohon maaf kepada masyarakat Banjarbaru atas hasil yang masih menegaskan kemenangan duitokrasi, daulat uang, ketimbang demokrasi dan Daulat rakyat. “Kepada Tim Hanyar, terima kasih atas kerja kerasnya. Kita telah berjuang secara terhormat dan bermartabat,” lanjut Denny Indrayana.
Denny Indrayana tetap yakin terjadinya politik uang di PSU Pilkada Banjarbaru, namun MK gagal melihat dengan mata keadilan. “Biar pengadilan akhirat yang menjawabnya.”
Mahkamah Konstitusi menolak dua gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemungutan suara ulang Pilkada Kota Banjarbaru. Dua gugatan itu masing-masing Nomor 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dan 319/PHPU.WAKO-XXIII/2025.
Ketua MK, Suhartoyo, membacakan amar putusan atas dua gugatan PHPU PSU Pilkada Banjarbaru. “Mengadili, mengabulkan eksepsi Termohon dan eksepsi pihak terkait berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon. Menolak eksepsi Termohon dan pihak terkait untuk selain dan selebihnya. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Suhartoyon, seperti dilihat Tempo dalam tayangan YouTube MK, pada Senin, 26 Mei 2025.
Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) selaku Pemohon PHPU Nomor 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025, dan Udiansyah selaku Pemohon PHPU Nomor 319/PHPU.WAKO-XXIII/2025. Atas putusan itu, MK tidak melanjutkan gugatan ke sidang pembuktian.
Dalam PHPU nomor 318, anggota MK, Enny Nurbaningsih, membacakan salah satu poin pertimbangan bahwa meskipun Pemohon adalah pemantau pemilihan, Pemohon tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dalam Pasal 158 ayat 2 huruf b UU Nomor 10 Tahun 2016.
“Oleh karena itu, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ucap Enny.
Selain itu, permohonan tidak memenuhi ambang batas perbedaan perolehan suara yang diperbolehkan untuk mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil PSU, sebagai tindak lanjut putusan MK pada Pilwali Banjarbaru 2024.
Di PSU Pilkada Banjarbaru, pasangan calon Erna Lisa Halaby – Wartono meraih 56.043 suara dan kolom kosong sebanyak 51.415 suara. Selisih suara sebanyak 4.628 atau 4,3 persen atau lebih dari 1.612 suara.
“Dengan demikian, Pemohon tidak memenuhi ketentuan pengajuan permohonan sebagaiman dimaksud Pasal 158 ayat 2 huruf b UU 10 Tahun 2016,” tutur Enny Nurbaningsih.
Adapun dalam PHPU nomor 319, anggota MK, Arsul Sani, membacakan eksepsi Termohon bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena Pemohon bukan peserta pemilihan, tetapi Masyarakat sekaligus pemilih pada TPS 007, Kelurahan Sungai Besar, Kecamatan Banjarbaru Selatan, Kota Banjarbaru.
Kuasa hukum dari dua Pemohon, Tim Hukum Hanyar Banjarbaru, mengajukan gugatan PHPU PSU Pilkada Banjarbaru karena dugaan politik uang yang terstruktur, sistematis dan massif. Pemohon melampirkan aneka bukti dugaan politik uang dalam bentuk foto, potongan video, dan screenshot percakapan ketua RT yang diduga mendukung pasangan calon Erna Lisa Halaby – Wartono.
Namun, hakim MK menyatakan bukti-bukti itu tidak cukup kuat membuktikan terjadinya politik uang yang mempengaruhi hasil PSU Pilkada Banjarbaru.