TEMPO.CO, Jakarta - Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada secara terbuka menyatakan mosi tidak percaya terhadap Rektor UGM Ova Emilia. Ketua BEM KM UGM, Tiyo Ardianto, mengatakan situasi dan kondisi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja melatarbelakangi pembuatan mosi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Situasi bangsa yang bahaya dan mengarah pada kehancuran. Kami ingin UGM menyelamatkan rakyat,” ujar Tiyo ketika dihubungi pada Senin, 26 Mei 2025. Ia menyatakan mosi itu juga wujud kekecewaan BEM kepada Rektor UGM yang dianggap berdalih karena enggan mengakomodosasi tuntutan mahasiswa.
Dalam pernyataan resmi, BEM KM menilai UGM turut berperan dalam membesarkan kekuasaan mantan presiden Joko Widodo yang kala itu masih menjabat. Jokowi dianggap sebagai pembunuh demokrasi.
Menurut Tiyo, meski kini pemerintahan dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, kekuasaan hari ini tetap merupakan kelanjutan dari kehendak politik Jokowi. "UGM mestinya turut bertanggung jawab dengan menegaskan keberpihakannya," ucap Tiyo.
Pernyataan ini disampaikan sebagai respons atas sikap kampus yang dinilai tidak tegas menyikapi dinamika politik nasional. BEM UGM menuntut agar rektor mereka menyatakan mosi tidak percaya kepada lembaga negara. Mereka menilai penyelenggaraan diskusi akademik saja tidak cukup.
"UGM telah menyelenggarakan kegiatan diskusi yang mengkritik realitas politik hari ini yang tidak lebih dari sebuah akrobat dalam panggung media sementara ketidakadilan dan penindasan terus tetap serta senantiasa terjadi di mana-mana," ujarnya.
Tiyo mengatakan mahasiswa tidak akan mencabut sikap mosi tidak percaya mereka kepada Rektor Ova Emilia selama kampus tidak menyatakan sikap politik yang jelas terhadap rezim. Ketika dihubungi hari ini, Tiyo mengaku belum mendapat respon atas sejumlah tuntutan yang disampaikan kepada Rektor UGM.
Dalam diskusi pada tanggal 21 Mei 2025, Rektor UGM Ova Emilia menemui mahasiswa. Tiyo mengatakan bahwa Ova menyampaikan bukan wewenang kampus untuk membuat mosi tidak percaya kepada Prabowo, sebagaimana yang dituntut. Ova, kata Tiyo, juga menyatakan bahwa UGM telah berpihak pada rakyat dengan menyelenggarakan diskusi terbuka tersebut.
Namun, bagi Tiyo, respons Rektor UGM tidak cukup karena penindasan dan ketidakadilan masih terjadi di berbagai tempat. “UGM sebagai kampus kerakyatan punya tanggung jawab sejarah untuk menyelamatkan rakyat dengan cara menegaskan keberpihakannya,” tutur Tiyo.
Tempo masih berupaya untuk menghubungi Rektor UGM Ova Emilia dan Wakil Rektor UGM Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat Arie Sujito. Pihak rektorat UGM juga belum memberikan tanggapan atas pernyataan mosi tidak percaya yang dilayangkan oleh BEM KM UGM.
Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.