Apakah Janin dalam Kandungan Punya Perasaan dan Emosi? Simak Fakta Menariknya

5 hours ago 5

Setiap emosi yang Bunda rasakan selama kehamilan ternyata punya pengaruh besar terhadap pertumbuhan janin, lho. Sejumlah penelitian bahkan menunjukkan bahwa bayi yang belum lahir sudah memiliki kesadaran untuk bereaksi dan menjalani fungsi emosional yang aktif.

Temuan ini sekaligus mematahkan teori lama dari Sigmund Freud, Bapak Psikoanalisis, yang menyatakan bahwa kepribadian baru mulai berkembang di usia 2–3 tahun. Nyatanya, setiap emosi, pikiran, dan aktivitas yang Bunda alami sehari-hari dapat berdampak langsung pada janin, bahkan terbawa hingga ia lahir dan tumbuh besar.

Penasaran dengan fakta-fakta menarik lainnya, Bunda? Yuk, simak penjelasan lengkap yang telah HaiBunda rangkum dari berbagai penelitian berikut ini!

Janin sudah memiliki kesadaran emosi dan memori sejak usia kehamilan dini

Janin bukanlah makhluk pasif seperti yang dulu sering diyakini para pakar. Beberapa penelitian terbaru dalam bidang psikologi prenatal membuktikan bahwa sejak dalam kandungan, janin sudah memiliki kesadaran emosi dan kemampuan memori. Sejak trimester pertama kehamilan, Si Kecil sudah mulai mendengar, merespons, dan bahkan menyimpan memori dari lingkungannya.

Melansir dari Evergreen Psychotherapy Center, Dr. Henry Truby, profesor dari University of Miami, menemukan bahwa pada usia enam bulan kehamilan, janin dapat bergerak mengikuti irama suara ibunya. Ini membuktikan bahwa Si Kecil telah mampu mengenali dan merespons suara secara aktif, bahkan sebelum ia bisa melihat dunia luar.

Tak hanya itu, studi lain yang dimuat dalam Journal of Child Development menunjukkan bahwa janin usia 30 minggu telah memiliki memori jangka pendek dan mampu mengingat informasi selama sekitar 10 menit. Artinya, janin bukan hanya merasakan, tapi juga menyimpan pengalaman sederhana yang ia alami di dalam rahim.

Lebih dalam lagi, studi berjudul Fetal Response to Induced Maternal Emotions oleh Miyuki Araki dan timnya mengungkap bahwa emosi ibu dapat langsung memengaruhi perilaku janin. Penelitian ini melibatkan 24 ibu hamil sehat dengan usia kehamilan antara 28–36 minggu.

Para peserta diminta menonton dua jenis film pendek: satu yang membangkitkan emosi bahagia, dan satu lagi yang memicu emosi sedih. Selama pemutaran film, gerakan janin dipantau menggunakan ultrasonografi (USG).

Hasilnya, ketika ibu merasa bahagia, gerakan lengan janin meningkat secara signifikan. Sebaliknya, saat sang ibu sedih, jumlah dan durasi gerakan lengan janin justru menurun drastis, bahkan setelah film selesai ditayangkan. 

Dampak stres saat hamil terhadap emosi janin

Tidak hanya fisik, kesehatan mental ibu hamil juga sangat krusial, Bunda. Stres berlebihan selama kehamilan dapat berdampak langsung pada perkembangan janin, termasuk kondisi emosional dan fisiknya setelah lahir.

Penelitian dalam Journal of Trauma & Dissociation (2020) menunjukkan bahwa emosi negatif Bunda dapat meninggalkan jejak pada janin. Perubahan suasana hati, pengalaman trauma, hingga komplikasi kehamilan berpengaruh pada kondisi emosional Si Kecil di dalam kandungan.

Ikatan prenatal pun dapat terganggu oleh berbagai faktor, seperti kecemasan berlebihan, tekanan finansial, perubahan hormon, penggunaan zat terlarang, kehamilan yang tidak direncanakan, hingga ditinggal pasangan.

Salah satu studi klasik dari Lukesch (1975) pun turut menunjukkan bahwa bayi yang dikandung oleh ibu yang menolak kehamilannya lebih berisiko lahir prematur dan mengalami gangguan kecemasan. Ini menunjukkan bahwa pengalaman emosional ibu selama hamil sudah bisa membentuk kondisi psikologis janin sejak dalam kandungan.

Tak heran jika para ahli menekankan pentingnya dukungan psikososial untuk ibu hamil, terutama bagi mereka yang hidup dalam kondisi rentan seperti kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, atau tekanan emosional lainnya. Program pendampingan selama kehamilan terbukti lebih efektif secara ekonomi dibandingkan dengan mengatasi dampak jangka panjang akibat stres yang tidak ditangani sejak dini.

Penulis buku The Secret Life of the Unborn Child, Dr. Thomas Verny, menegaskan melalui laman Evergreen Psychotherapy Center, “Dunia pertama seorang anak adalah rahim ibunya. Jika kita ingin generasi yang lebih sehat, mulailah dengan memastikan kehamilan yang aman dan bahagia.”

Lantas apakah semua stres membawa dampak buruk? Jawabannya tidak selalu, ya, Bunda. Dalam psikologi, ada istilah eustress, yaitu stres positif yang justru bisa mendorong pertumbuhan dan kesiapan janin menghadapi tantangan di masa depan.

Melansir PsychCentral, stres ringan hingga sedang justru dapat mempercepat perkembangan otak janin dan membuat mereka lebih cepat matang secara kognitif. Temuan ini sejalan dengan studi dari Universitat Zurich (2015) yang menunjukkan bahwa stres jangka pendek tidak memberikan dampak negatif signifikan pada perkembangan bayi.

Namun, stres berat yang berlangsung lama tetap harus diwaspadai. Hormon stres seperti kortisol dapat masuk ke dalam cairan ketuban dan memengaruhi sistem saraf janin. Studi yang diterbitkan dalam jurnal PNAS (2019) menunjukkan adanya hubungan antara stres berlebihan saat hamil dan peningkatan risiko gangguan seperti kecemasan, ADHD, keterlambatan bahasa, hingga gejala autisme.

Meski demikian, para ahli menekankan bahwa stres selama kehamilan bukan satu-satunya faktor penyebab gangguan perkembangan anak. Faktor lingkungan setelah kelahiran juga berperan besar. Anak-anak yang diasuh oleh orang tua dengan stres kronis cenderung mengalami kesulitan dalam mengelola emosi dan perilaku, yang kemudian memengaruhi tumbuh kembang mereka.

Tips bonding emosi dengan janin sejak dalam kandungan

Bunda bisa mulai membangun ikatan emosi dengan Si Kecil sejak dalam kandungan. Caranya cukup sederhana, seperti:

  • Luangkan waktu sejenak setiap hari untuk berbicara, membaca, atau menyanyi bagi janin.
  • Rasakan gerakannya, dan ajak ia “berkomunikasi” lewat sentuhan di perut.
  • Coba praktik meditasi agar tubuh dan pikiran lebih tenang, yang juga berdampak positif pada janin.

Psikolog klinis asal New York, Dr. Emily Guarnotta, PsyD, menyarankan agar orang tua mengambil waktu untuk benar-benar “hadir” bersama bayinya, tanpa gangguan sedikitpun.

“Meluangkan waktu beberapa menit setiap hari untuk merasa dekat dengan bayi, entah dengan membaca buku, menyentuh perut, atau bermeditasi tenang, bisa memperkuat ikatan sejak dini,” ujarnya, dikutip dari laman PsychCentral.

Bunda juga tidak perlu sungkan untuk bercerita kepada orang-orang terdekat jika merasa ada hal yang membebani pikiran. Bila emosi terasa sulit dikendalikan, berkonsultasi dengan tenaga ahli seperti dokter atau psikolog bisa menjadi langkah bijak. Dukungan dari profesional akan membantu Bunda menemukan cara yang tepat untuk menjaga kestabilan emosi selama kehamilan.

Itulah rangkuman informasi dari berbagai hasil penelitian tentang bagaimana kondisi emosional dan fisik Bunda memberi pengaruh besar terhadap perkembangan emosi janin. Semoga bisa menjadi bekal berharga untuk Bunda dalam menjalani kehamilan yang sehat, ya!


Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online