Jakarta -
Setiap ibu tentu menginginkan pengalaman melahirkan yang aman dan penuh kenyamanan. Namun, bagaimana jika janji tersebut berubah menjadi pengalaman yang meninggalkan luka fisik dan batin?
Kisah pilu ini datang dari seorang Bunda asal Amerika Serikat yang mengalami trauma berat setelah melahirkan anak keempatnya. Pengalaman menyakitkan itu akhirnya membawanya untuk berani mengajukan gugatan atas kelalaian rumah sakit yang menangani persalinannya.
Penasaran seperti apa perjuangan Bunda ini dalam memperjuangkan haknya? Yuk, simak kisah lengkapnya di bawah ini!
Janji manis rumah sakit berujung palsu, Bunda ini menangkan gugatan Rp259 miliar
Caroline Malatesta, seorang ibu asal Birmingham, Alabama, Amerika Serikat, membagikan kisah yang dialaminya saat melahirkan. Ia menggugat rumah sakit tempat ia bersalin karena merasa dijebak oleh janji persalinan alami yang 'personal'.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya, Caroline mengalami perlakuan kasar yang berujung pada trauma fisik dan psikis. Atas kasus tersebut, pengadilan memutuskan Caroline berhak menerima ganti rugi sebesar $16 juta atau sekitar Rp259 miliar.
“Semua ini berakhir seperti yang saya harapkan, dan saya sangat bersyukur. Banyak perempuan lain mengatakan bahwa putusan ini menjadi validasi yang selama ini tidak mereka dapatkan,” ujar Caroline kepada Yahoo Beauty.
Ia melanjutkan, “Tapi ini juga terasa pahit. Sebenarnya, saya lebih memilih rumah sakit bekerja sama dengan saya daripada harus berakhir di pengadilan. Tujuan saya adalah memperjuangkan perbaikan layanan untuk perempuan lainnya.”
Caroline, yang saat itu sedang hamil anak keempat, memutuskan pindah ke Brookwood Medical Center, rumah sakit yang mempromosikan konsep persalinan alami dengan fasilitas mewah seperti birthing tub dan kamar khusus yang menjanjikan penghormatan pada rencana persalinan ibu.
Sayangnya, saat melahirkan pada tahun 2012, pengalaman Caroline jauh dari janji manis tersebut. Dalam gugatan yang diajukan, Caroline mengungkapkan bahwa ia justru mengalami intervensi medis yang agresif.
Ia dipaksa berbaring telentang oleh perawat yang bahkan menahan kepala bayi yang sudah hampir lahir selama enam menit hingga dokter datang. Perlakuan ini menyebabkan Caroline menderita pudental neuralgia, cedera saraf langka yang menyebabkan nyeri kronis parah. Tak hanya itu, ia juga mengalami trauma psikologis yang berdampak pada kehidupan rumah tangganya.
“Saya hidup dengan kondisi medis melemahkan, kehidupan seksual saya hancur, saya harus rutin menemui terapis dan mengonsumsi obat untuk mengatasi rasa sakit dan serangan panik,” ungkap Caroline dalam wawancara tahun 2015 saat gugatan masih berlangsung, dikutip dari Yahoo! Life.
Ilustrasi Melahirkan/ Foto: Getty Images/iStockphoto/globalmoments
Aksi Caroline membuka jalan untuk banyak Bunda angkat suara
Setelah persidangan yang berlangsung dari 25 Juli hingga 5 Agustus 2012, juri Pengadilan Wilayah Jefferson menyatakan Brookwood Medical Center bersalah karena melanggar standar layanan persalinan serta melakukan penipuan dan misrepresentasi. Rumah sakit ini juga sempat disorot media lokal atas dugaan kasus serupa yang dialami ibu-ibu lainnya.
Juru bicara Brookwood Medical Center belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar dari Yahoo Beauty. Namun, dalam pernyataan resmi kepada WBRC melalui juru bicara Kate Darden, pihak rumah sakit menyampaikan kekecewaan mereka terhadap hasil persidangan.
“Kami kecewa dengan hasil putusan ini. Brookwood Medical Center selalu berupaya memberikan layanan terbaik dalam perawatan dan kepuasan pasien, dan kami dengan hormat tidak sependapat dengan keputusan juri," tulis juru bicara.
Putusan ini dinilai para advokat hak-hak ibu melahirkan sebagai langkah besar dalam perlawanan terhadap Kekerasan Obstetri, istilah untuk merujuk pada segala bentuk paksaan, intimidasi, atau perlakuan tidak etis terhadap ibu dalam proses persalinan.
“Putusan ini penting karena menunjukkan bahwa menyakiti atau memaksa perempuan saat melahirkan bisa membawa risiko hukum besar bagi tenaga medis,” ujar Hermine Hayes-Klein dari organisasi Human Rights in Childbirth.
Ia menambahkan, “Hak-hak hukum perempuan dalam persalinan selama ini terlalu sering diabaikan. Ini bisa menjadi momen perubahan.”
Caroline bukan satu-satunya perempuan yang bersuara. Kasus serupa terjadi di berbagai negara bagian AS, seperti Kimberly Turbin di California yang menggugat dokternya atas tindakan episiotomi paksa, hingga sejumlah ibu di New York dan New Jersey yang mengaku dipaksa menjalani operasi caesar.
Sayangnya, masih banyak perempuan enggan bersuara karena respons yang sering mereka terima adalah, “Bayi kamu sehat, jadi kenapa mengeluh?”
Cristen Pascucci, advokat dari Birth Monopoly dan Improving Birth yang mendampingi Caroline sejak awal, menyebut pengalamannya di persidangan sebagai momen penuh emosi dan menyakitkan. Ia juga mengungkap bahwa strategi pemasaran rumah sakit ternyata tidak sepenuhnya dipahami oleh para dokter dan perawat yang menjalankan praktik.
“Tim pemasaran rumah sakit hanya fokus mengalahkan rumah sakit lain dan menarik lebih banyak pasien bersalin. Tapi sayangnya, tidak ada komunikasi yang jelas antara tim pemasaran dan tim medis,” ungkap Pascucci.
Bagi Caroline, dukungan dari perempuan lain yang mengalaminya juga menjadi sumber kekuatan untuk terus berjuang.
“Saat kisah saya mulai diberitakan, banyak perempuan yang menghubungi saya dan menceritakan pengalaman serupa. Mereka bilang bahwa gugatan saya menjadi pembuktian bagi mereka. Itulah yang membuat saya terus maju,” ujar Caroline sambil menahan tangis dalam siaran langsung di Facebook bersama Birth Monopoly.
Dari kisah ini, semoga setiap rumah sakit senantiasa menghormati dan memperhatikan hak setiap ibu saat melahirkan, sehingga tak ada lagi cerita pilu seperti ini, ya, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(pri/pri)